KRICOM - Polemik divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) masih terus bergulir. Publik Indonesia kini terbelah antara pihak yang mendukung penguasaan 51 persen saham perusahaan tambang yang beroperasi di Papua itu, dengan pihak yang menentang.
Pihak yang mendukung penguasaan saham mayoritas itu menganggap keputusan pemerintah melalui PT Inalum mengucurkan $3,5 miliar sebagai capaian bersejarah. Hal itu karena baru kali ini, Indonesia menjadi pemegang saham perusahaan yang telah beroperasi sejak tahun 1973 tersebut.
Di sisi lain, pihak yang menentang juga tak kalah banyaknya. Mereka menyayangkan langkah PT Inalum karena kontrak PTFI di Indonesia akan selesai pada tahun 2021 mendatang. Dengan begitu, dalih mereka, Indonesia akan memiliki Freeport secara gratis.
Perdebatan tersebut mengusik Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Mahfud MD untuk berkomentar. Melalui cuitannya yang di Twitter, ia menjelaskan duduk perkara sehingga Indonesia memang harus melakukan divestasi saham terhadap PTFI.
Pada awalnya Mahfud membeberkan polemik Freeport yang mencuat pada tahun 2015 silam sekitar bulan November, yang kemudian dikenal dengan kasus 'Papa Minta Saham'. Kasus ini melibatkan dua tokoh besar yaitu Menteri ESDM kala itu, Sudirman Said, dengan Ketua DPR RI saat itu, Setya Novanto (Setnov).
Diketahui, Sudirman kala itu melaporkan Setnov ke Majelis Kehormatan Dewan (MKD) atas dugaan pelanggaran etik dalam proses perpanjangan kontrak Freeport. Setnov diduga meminta jatah saham dalam upaya perpanjangan kontrak perusahaan tersebut.
"Persoalan meluas menjadi pertanyaan: Mengapa Freeport mau diperpanjang? Adalah lebih baik kalau kontrak tidak diperpanjang dan Freeport kita kuasasi," tulis Mahfud, Sabtu (23/12/2018).
Mahfud melanjutkan, saat itu dirinya juga bingung perihal rencana perpanjangan kontrak Freeport oleh Sudirman. Bahkan, ia sempat menduga sosok yang sekarang jadi politikus Gerindra itu mendapat sesuatu dari proses perpanjangan tersebut.
"Nasionalisme saya terusik jika sehabis kontrak Freeport masih diperpanjang. Sebab, selama ada Freeport, selain terjadi perusakan alam dan pengerukan kekayaan secara tidak adil, juga terjadi banyak pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua. Logisnya, Freeport harus diakhiri," imbuh Mahfud.
Namun kemudian, Mahfud diajak bertemu oleh Sudirman Said untuk membahas hal tersebut. Keduanya kemudian bertemu di Hotel Darmawangsa, Jakarta Selatan.
Dalam pertemuan itu, Mahfud menyebut memperoleh rincian terkait duduk persoalan secara jelas dari Sudirman. Tak hanya itu, Mantan Menteri Pertahanan era Gus Dur ini juga ditunjuki UU dan dokumen kontrak karya (KK) antara Indonesia dengan Freeport.
Mendapat penjelasan itu, Mahfud mengaku terkejut. Pasalnya, terdapat sejumlah poin dalam dokumen-dokumen tersebut yang justru merugikan Indonesia.
Baca Juga : Dibanding SBY, Langkah Jokowi Soal Freeport dinilai Lebih Cerdas dan Berani
Menurutnya, terdapat poin-poin yang sangat timpang dan menguntungkan Freeport dalam KK tersebut. Bahkan, Freeport diberi hak istimewa dengan bisa membawa kasus ke Arbitrasi Internasional jika kontrak diputus.
"Di dalam kontrak karya dengan Freeport dicantumkan pemberian keistimewaan kepada Freeport sehingga dengan kontrak itu Freeport selalu mengatakan pihaknya bisa membawa kasus itu ke Arbitrasi Internasional jika kontrak diputus begitu saja," sebut Mahfud.
Tak hanya itu, kontrak dan notulen dengan Freeport juga memberikan kewenangan pada perusahaan tersebut untuk memperpanjang kontrak 2X10 tahun. Pemerintah Indonesia, dalam poin ini, tidak bisa menolak perpanjangan tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh Freeport.
"Ada juga isi, bahwa jika kontrak berakhir maka Pemerintah harus membeli saham Freeport sesuai dengan harganya," sambung Mahfud.
Sontak, setelah membaca dokumen-dokumen itu Mahfud pun kemudian beralih mendukung Sudirman untuk memperpanjang kontrak Freeport. Karena menurutnya, kontrak dengan Freeport sangat tidak relevan dan menjerat. Namun, kontrak seperti itu hanya bisa dibatalkan dengan perjanjian kontrak yang baru.
"Karena menurut hukum 'sebuah kontrak' yang menyandera dan menjerat seperti itu memang hanya bisa diakhiri dengan kontrak baru melalui negosiasi. Tak bisa diakhiri begitu saja," terangnya.
"Menurut hukum, setiap kontrak (perjanjian) berlaku sebagai UU bagi pihak-pihak yang membuatnya. Setiap isi kontrak mengikat seperti UU. Kontrak hanya bisa diakhiri dengan kontrak baru melalui asas consensual," timpalnya lagi.
Dari keterangan Mahfud tersebut, pemerintah Indonesia dihadapkan pada dua opsi yaitu menguasai mayoritas saham Freeport atau melayani tuntutan ke Arbitrase Internasional. Menurut Mahfud, keduanya telah dipikirkan pemerintah, hanya saja opsi penguasaan saham Freeport didahulukan.
Mahfud melanjutkan, opsi menghadapi Freeport di Arbitrase Internasional pun tidak mudah. Pasalnya, jika kalah Indonesia akan kehilangan Freeport untuk selamanya.
"Perjanjian hanya bisa berakhir dengan perjanjian baru. Itulah yang ditempuh Pemerintah," jelas Mahfud.
"Pemerintah sudah menyatakan siap ke Arbitrase jika usaha mengambil 51% saham gagal. Tapi, masalahnya, jika kalah maka Indonesia akan kehilangan Freeport untuk selamanya," pungkas pria kelahiran Madura tersebut.